Menyikapi Munculnya lembaga-Lembaga Khilafah
Oleh : KH. Yakhsyallah Mansur, MA.
Ketua Sekolah Tinggi Shuffah
Al-Qur’an (STSQ)
Sabda
Rasulullah Saw : Artinya : “Adalah bani Israil itu dipimpin para nabi. Setiap
nabi meninggal maka diganti oleh nabi yang lain. Sesungguhnya tidak ada nabi
setelah saya dan akan ada beberapa khalifah yang banyak. Para sahabat berkata
“apa yang engkau perintahkan kepada kami?”. Beliau bersabda “Tepatilah bai’at
yang pertama kemudian yang pertama, berikan kepada mereka hak mereka,
sesungguhnya Allah akan menanyakan pertanggung jawaban mereka tentang apa yang
diserahkan oleh Allah kepada mereka” (H.R Bukhari)
Menurut
Ibnu hajar Al-Atsqalani, dalam hadits di atas terdapat tashif (perubahan
titik) pada kalimat “fa yaktsurun” sebagian ulama ada yang meriwayatkan
dengan kalimat “fa yakburun” yang berarti mereka menyombong dan
berperilaku buruk.
Hadits
ini di samping menceritakan kondisi Bani Israil yang selalu dipimpin oleh para
nabi, sebelum Rasulullah Saw diutus sebagai Rasul dan Nabi terakhir. Juga
merupakan nubuwwah Rasulullah Saw. Nubuwwah adalah pengetahuan
yang diberikan oleh Allah kepada Rasulullah Saw tentang peristiwa yang kelak
akan terjadi.
Pada
hadits ini, Rasulullah Saw menyebutkan bahwa umat Islam sepeninggal Nabi akan
dipimpin oleh para khalifah, seperti bani Israel yang dipimpin oleh para nabi.
Para khalifah yang memimpin umat Islam ini akan berperan seperti para nabi
memimpin bagi Israel hanya saja mereka tidak menerima wahyu.
Oleh
karena itu Al-Mawardi (W: 450 H) mendefinisikan kepemimpinan Islam (imamah)
sebagai berikut :
Artinya : “Kedudukan yang diadakan
untuk menggantikan kenabian dalam rangka memelihara agama dan mengatur dunia”.
Kata
As-Syiaasah yang merupakan masdar dari kata saasa ya suusu mempunyai
pengertian : mengatur sesuatu dengan cara yang baik.
Nubuwwah
Rasulullah Saw melalui hadits di atas terbukti dengan dibaiatnya Abu Bakar
sebagai Khalifah untuk melanjutkan kepemimpinan Umat Islam setelah Rasulullah
Saw wafat.
Oleh
karena itu, Abu Bakar sebagai khalifah pertama menyebut dirinya sebagai
Khalifah Rasulullah (Pengganti Rasulullah Saw.)
Selanjutnya
Umar bin Khattab sebagai khalifah kedua menyebut dirinya Khalifah Khalifah
rasulullah (Pengganti pengganti Rasulullah Saw.) khalifah ketiga, Usman bin
Affan, karena sebutannya teramat panjang, cukup disebut khalifah. Mulai sejak
itu sebutan khilafah dipakai secara populer, sebutan tersebut terus berlaku
sampai ke masa Ali bin Abi Thalib.
Setelah
itu, kepemimpinan umat Islam berubah dari sistem khilafah menjadi sistem mulkan
(kerajaan) dengan raja pertama Mu’awiyah bin Abi Sufyan (w: 60 H).
Sedangkan raja terakhir Sultan Muhammad IV dari dinasti Usmaniyah, yang
diturunkan dari tahtanya oleh Turki Muda Nasional pimpinan Mustafa Kemal Pasya,
pada 1 November 1912.
Mayoritas
ulama berpendapat bahwa hukum menegakkan khilafah bagi umat Islam adalah wajib,
yang jika diabaikan maka semua umat Islam akan terkena dosanya.
Sebaliknya,
sebagian sekte Muktazilah dan Khawarij berpendapat bahwa pengangkatan khalifah
tidak wajib, baik menurut penilaian akal maupun penilaian syara’ (hukum Islam).
Hal yang wajib bagi mereka adalah menegakkan syara’. Jika umat Islam sudah
berjalan di atas keadilan dan hukum Allah telah dilaksanakan, maka tidak perlu
ada imam atau khilafah.
Pendapat
yang terakhir ini adalah kurang tepat, karena di samping bertentangan
dalil-dalil syari’at juga bertentangan dengan realita kehidupan bermasyarakat.
Kepemimpinan adalah syarat mutlak bagi tercapainya penegakkan hukum dan
terwujudnya keadilan.
Dalil-dalil
yang menunjukkan kewajiban menegakkan khilafah antara lain :
Firman
Allah: “Ingatlah ketika Tuhanmu berfirman kepada para Malaikat : “Sesungguhnya
Aku hendak menjadikan seorang khalifah di muka bumi”. (Q.S. Al-Baqarah [2] :
30)
Ketika
menafsirkan ayat ini, Ibnu Katsir menggunakan pendapat Al-Qurthubi dan ulama
yang lain bahwa ayat ini merupakan dalil wajibnya menegakkan khilafah untuk
memutuskan dan menyelesaikan pertentangan yang terjadi diantara manusia,
membantu orang-orang yang teraniaya, menegakkan hukum Islam dan mencegah
merajalelanya kejahatan serta masalah-masalah lain yang tidak dapat
terselesaikan kecuali dengan adanya Imam (pimpinan). Sesuatu yang menyebabkan
kewajiban tidak dapat berjalan dengan sempurna, maka diadakan menjadikan wajib
adanya.
Hadits
Rasulullah Saw : “Tidak halal bagi tiga orang yang berada di permukaan bumi
kecuali mengangkat seorang di antaranya menjadi pimpinan.” (H.R Ahmad)
Hadits
ini merupakan dalil wajibnya menegakkan pimpinan di kalangan umat Islam. Dengan
adanya pimpinan umat Islam akan terhindar dari perselisihan sehingga
terwujudlah kasih sayang diantara mereka.
Berdasarkan
dalil-dalil tersebut dan dalil-dalil lain yang memperkuat wajibnya penegakkan
khilafah di kalangan kaum muslimin, maka sejak melemahnya dinasti Usmaniyah di
Turki, muncullah usaha di kalangan umat Islam untuk membangkitkan kembali
sistem kekhilafahan Islam yang telah lama ditinggalkan oleh umat Islam.
Usaha
ini di awali dengan dibentuknya Pan Islamisme, di akhir abad ke-19 yang
dipelopori oleh Jamaluddin Al-Afghani (1839-1897) yang bertujuan untuk
mengembalikan sistem kekhilafahan tunggal bagi dunia Islam sebagaimana pernah
terjadi pada masa Khulafa Al-Rasyidin Al-Mahdiyyin walau pun Pan Islamisme tidak memperlihatkan hasil konkrit namun telah
menyadarkan kaum muslimin di berbagai tempat tentang pentingnya kesatuan dan
kekhilafahan Islam.
Pada
tahun 1919 di India dibentuk All Indian Chaliphate Conference oleh
beberapa pimpinan muslimin di India. Gerakan ini secara tetap mengadakan
pertemuan-pertemuan untuk membicarakan dan mengusahakan penyatuan umat Islam
dan tegaknya khilafah. Pada tahun 1924 di Kairo, Mesir diselenggarakan kongres
khilafah yang diprakarsai oleh para ulama Al-Azhar, tetapi kongres ini tidak
membuahkan hasil yang fundamental.
Di
Indonesia usaha penyatuan umat Islam dipelopori oleh tokoh-tokoh umat islam
seperti HOS Cokroaminoto, KH Mas Mansyur, KH Munawar Khalil, Abdul Karim
Amrullah, Wali Al-Fattah dan sebagainya.
Diantara
tokoh-tokoh tersebut, Wali Al-Fattah adalah termasuk seorang yang konsisten dan
secara transparan mendakwahkan wajibnya umat islam kembali menegakkan sistem
sistem Khilafah dan mengangkat imam bagi umat islam.
Berdasarkan
sabda Rasulullah Saw: Artinya: “Barang siapa mati tidak mempunyai imam, maka
matinya laksana mati Jahiliyah.” (H.R Ahmad)
Wali
Al-Fattah menyatakan adanya imam adalah wajib bagi umat islam. Pelanggaran atas
hal tersebut adalah adalah disa besar dan ini berarti suatu anarki, suatu
perbuatan sendiri-sendiri yang tidak ada contohnya, di mana masing-masing
kelompok atau golongan mengaku benarnya sendiri.
Mengingat
pentingnya maslaha umat islam ini, Wali Al-Fattah bersedia memikul beban berat
untuk diangkat menjadi Imamul Muslimin atau Khalifah. Pembaiatan Wali
Al-Fattah sebagai imam ini dilaksanakan pada tanggal 10 Dzulhijjah 1372 H (20
Agustus 1953 M).
Setelah
pembaiatan ini dilakukan selama beberapa tahun diumumkan ke seluruh dunia untuk
mencari informasi apakah di tempat lain sudah ada imam yang lebih dahulu
dibaiat.
Sebagai
konsekuensinya, apabila sudah ada imam yang lebih dahulu maka Wali Al-Fattah
bersedia menjadi makmum karena imam tidak boleh ada dua, dan apabila hal ini
terjadi yang sah adalah imam yang dibaiat pertama sebagaimana sabda Rasulullah
Saw, “Tepatilah baiat yang pertama kemudian yang pertama”. (H.R Muslim)
Setelah
beliah wafat pada hari Sabtu 28 Dzulqa’dah 1396H/ 20 November 1976M dibaiatlah
sebagai penggantinya, hamba Allah Muhyiddin Hamidy menjadi Imaamul Muslimin atau
kahlifah hingga sekarang.
Menghadapi
fenomena dewasa ini dengan munculnya lembaga-lembaga khilafah ada banyaknya
orang-orang yang mengaku sebagaimana imam, maka hadits di atas merupakan solusi
yang paling tepat. Karena masalah imam, bukan masalah yang diperebutkan tetapi
masalah-masalah kewajiban syariat.
Siapa
pun yang dia baiat, selama dia muslim dan beriman kepada Allah, maka yang lain
wajib membaiatnya dan mentaatinya.
Allah
SWT berfirman: “Sesungguhnya penolong kamu hanyalah Allah, Rasul-Nya, dan orang-orang yang beriman, yang mendirikan
shalat dan menunaikan zakat, seraya mereka tunduk (kepada Allah).” (Q.S
Al-Maidah : 55)
Rasulullah
Saw bersabda : “Apabila diangkat untuk memimpin kamu seorang budak yang
terpotong hidungnya – saya (Zaid bin Abi Unaisah) mengira, dia (Ummu Hasan)
berkata – yang hitam, selama memimpin kamu dengan kitab Allah maka dengarlah
dan taatilah.” (H.R Muslim)
Para
ulama menambahkan bahwa syarat-syarat khilafah yaitu: Laki-laki, baligh,
memiliki kemampuan, sehat jasmani dan rohani. Adapun tentang persyaratan yang
diperselisihkan para ulama.
Untuk
mencapai titik kesamaan tentang. “siapa imam yang pertama”, dan agar ukhuwah
islamiyah tetap terjaga, sebaiknya diperhatikan hal-hal sebagai berikut :
1. Tidak saling mencela.
“Hai
orang-orang yang beriman, janganlah sekumpulan orang laki-laki merendahkan
kumpulan yang lain, boleh jadi yang ditertawakan itu lebih baik dari mereka.
Dan jangan pula sekumpulan perempuan merendahkan kumpulan lainnya, boleh jadi yang direndahkan
itu lebih baik dari mereka yang menghina.” (Q.S Al-Hujurat [49] : 11)
2. Tidak saling berburuk sangka.
Rasulullah Saw bersabda, “Jauhilah
prasangka, karena prasangka itu merupakan perkataan yang paling dusta, jangan
mencari-cari aib orang lain, jangan saling mendengki, jangan saling membenci,
jangan saling membelakangi, jadilah hamba-hamba Allah yang bersaudara.” (H.R
Bukhari)
3. Menjaga hubungan baik.
Rasulullah Saw bersabda,
“Bertakwalah kepada Allah dan perbaikilah hubungan di antara orang-orang
beriman...” (H.R Bukhari)
Imam Muslim meriwayatkan dengan
sanadnya dari Abu Hurairah, bahwa seorang laki-laki berkata, “Wahai Rasulullah
saya memiliki beberapa kerabat, saya jalin hubungan dengan mereka, tetapi
mereka memutuskan hubungan denganku, saya berbuat baik dengan mereka, tetapi
menyakitiku, dan saya bersikap lembut dengan mereka, namun mereka berlaku kasar
kepadaku.” Beliau bersabda “Jika benar apa yang kamu katakan, engkau
seakan-akan membuat jemu mereka, sedang di sampingmu terdapat seorang pembela
dari Allah selama engkau dalam keadaan demikian.”
4. Menganggap seluruh umat islam sebagai saudara.
“Jika
mereka bertaubat, mendidikan shalat dan menunaikan zakat, maka (mereka itu)
adalah saudara-saudaramu seagama. Dan kami menjelaskan ayat-ayat itu bagi kaum
yang mengetahui” (Q.S At-Taubah [9] : 11)
Para
ulama mengatakan bahwa ukhuwah berdasarkan agama lebih kokoh dibanding ukhuwah
berdasarkan keturunan, karena ukhuwah berdasarkan keturunan akan terputus
dengan perbedaan agama, sedangkan ukhuwah berdasarkan agama tidak akan putus
dengan perbedaan agama.
5. Tidak merasa paling baik.
“Maka
janganlah kamu mengatakan dirimu suci. Dialah yang paling mengetahui tentang
orang yang bertaqwa.” (Q.S An-Najm [53] : 32)
Ayat ini
memberikan pengertian agar kita jangan merasa suci dari dosa atau suci dari
perbuatan maksiat atau banyak melakukan kebaikan.
Pada ayat
lain Allah mengingatkan: “Apakah kamu tidak memperhatikan orang yang menganggap
dirinya bersih?.” (Q.S An-Nisa [4] : 49)
6. Saling membantu dan memaafkan.
Rasulullah
Saw bersabda: “Empat hak orang islam yang harus ditunaikan, membantu di antara
mereka yang berbuat baik, memaafkan yang berbuat dosa, mendoakan yang
berpaling, dan mencintai mereka yang bertaubat.” (H.R Ad-Dailami)
Dengan
langkah-langkah seperti di atas maka ukhuwah islamiyah tetap terjaga dan
lembaga-lembaga yang berusaha menegakkan khilafah insya Allah dapat disatukan
sehingga terwujudlah kesatuan umat islam di bawah seorang imam sebagaimana
dicontohkan oleh Rasulullah Saw dan Khulafaurrasyidin Al-mahdiyyin.
Waallahu
A’lam Bish Shawwab...
menambah pengetahuan infonya kak
ReplyDeleteElever Agency